Kontak Penelusuran

Senin, 23 September 2013

Jawa

JAWA

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.
Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Etimologi Asal mula nama 'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama.[1] Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".[2] Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal.[2] Yawadvipa disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta.[3] Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.[4]

Sejarah
Pemandangan Gunung Merbabu yang dikelilingi persawahan. Topografi vulkanik serta tanah pertanian yang subur merupakan faktor penting dalam sejarah pulau Jawa.
Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.[5] Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus.[6] Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.
Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar.[7] Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antarpenduduk pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.[8]

Masa kerajaan Hindu-Buddha

Kerajaan Taruma dan Kerajaan Sunda muncul di Jawa Barat, masing-masing pada abad ke-4 dan ke-7, sedangkan Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa Tengah pada awal abad ke-8. Kerajaan Medang menganut agama Hindu dan memuja Dewa Siwa, dan kerajaan ini membangun beberapa candi Hindu yang terawal di Jawa yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Di Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang Wangsa Sailendra, yang merupakan pelindung agama Buddha Mahayana. Kerajaan mereka membangun berbagai candi pada abad ke-9, antara lain Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah.
Sebuah stupa Buddha di candi Borobudur, dari abad ke-9.
Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur pulau Jawa. Di wilayah timur berdirilah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit yang terutama mengandalkan pada pertanian padi, namun juga mengembangkan perdagangan antar kepulauan Indonesia beserta Cina dan India.
Raden Wijaya mendirikan Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya di masa pemerintahan Hayam Wuruk (m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh kepulauan Indonesia, meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali, dan Madura saja. Gajah Mada adalah mahapatih di masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak penaklukan teritorial bagi kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya mendasarkan kekuasaan mereka pada pertanian, namun Majapahit berhasil menguasai pelabuhan dan jalur pelayaran sehingga menjadi kerajaan komersial pertama di Jawa. Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan wafatnya Hayam Wuruk dan mulai masuknya agama Islam ke Indonesia.

Masa kerajaan Islam

Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui Hindu dan Buddha sebagai agama dominan di Jawa, melalui dakwah yang terlebih dahulu dijalankan kepada kaum penguasa pulau ini. Dalam masa ini, kerajaan-kerajaan Islam Demak, Cirebon, dan Banten membangun kekuasaannya. Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian tengah dan timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil ditundukkan di bawah kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan Banten lah yang kemudian tersisa ketika datangnya bangsa Belanda pada abad ke-17.

Masa kolonial

Perkebunan teh di Jawa pada masa kolonial Belanda. Sekitar tahun 1926.
Hubungan Jawa dengan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan diadakannya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di Malaka. Setelah kegagalan perjanjian tersebut, kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka dan di pulau-pulau sebelah timur nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat buah kapal pada tahun 1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia.[9] Pada akhir abad ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh mereka terhadap kesultanan-kesultanan di pedalaman pulau Jawa (lihat Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia). Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani, konflik internal telah menghalangi mereka membentuk aliansi yang efektif dalam melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan sebagai Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Para raja Jawa mengklaim berkuasa atas kehendak Tuhan, dan Belanda mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara mengukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup administrasi kolonial.
Di awal masa kolonial, Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil beras. Pulau-pulau penghasil rempah-rempah, misalnya kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan beras dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.[10]
Inggris sempat menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Britania Raya, dengan Sir Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Pada tahun 1814, Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagaimana ketentuan pada Traktat Paris.[11]
Penduduk pulau Jawa kemungkinan sudah mencapai 5 juta orang pada tahun 1815.[12] Pada paruh kedua abad ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di kadipaten-kadipaten sepanjang pantai utara Jawa bagian tengah, dan dalam abad ke-19 seluruh pulau mengalami pertumbuhan populasi yang cepat. Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk yang besar antara lain termasuk peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu dalam menetapkan berakhirnya perang saudara di Jawa, meningkatkan luas area persawahan, serta mengenalkan tanaman pangan lainnya seperti singkong dan jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak mampu membeli beras.[13] Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan semakin meluasnya perekutan kerja di bawah Sistem Tanam Paksa menyebabkan para pasangan berusaha memiliki lebih banyak anak dengan harapan dapat meningkatkan jumlah anggota keluarga yang dapat menolong membayar pajak dan mencari nafkah.[14] Pada tahun 1820, terjadi wabah kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.[15]
Kehadiran truk dan kereta api sebagai sarana transportasi bagi masyarakat yang sebelumnya hanya menggunakan kereta dan kerbau, penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih teratur di bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung terhapusnya kelaparan di Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan yang berarti di Jawa semenjak tahun 1840-an hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an.[16] Selain itu, menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19, menyebabkan bertambahnya jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat mengurus anak.[16]

Masa kemerdekaan

Nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 (lihat Kebangkitan Nasional Indonesia), dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang Dunia II juga berpusat di Jawa. Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan kekerasan anti-komunis selanjutnya pada tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau ini. Jawa saat ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, yang berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun 1998 terjadi kerusuhan besar yang menimpa etnis Tionghoa-Indonesia, yang merupakan salah satu dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi tidak berapa lama sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berjalan selama 32 tahun.[17]
Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi bencana semburan lumpur panas Sidoarjo.

Geografi

Jawa bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur.
Jawa memiliki luas sekitar 139.000 km2.[18] Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km.[19] Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.
Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia.[20] Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.
Dataran Tinggi Parahyangan, dilihat dari Bogor (k. 1865-1872).
Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembaban rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara, dan daerah dataran tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi. Musim hujan berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-bulan bulan Januari dan Februari.
Jawa Barat bercurah hujan lebih tinggi daripada Jawa Timur, dan daerah pegunungannya menerima curah hujan lebih tinggi lagi. Curah hujan di Dataran Tinggi Parahyangan di Jawa Barat mencapai lebih dari 4.000 mm per tahun, sedangkan di pantai utara Jawa Timur hanya 900 mm per tahun.

Pemerintahan

Secara administratif pulau Jawa terdiri atas enam provinsi:

Kota besar

Berikut 10 kota besar di Jawa berdasarkan jumlah populasi tahun 2005.[21]
Java Transportation Network id.svg
Urutan Kota, Provinsi Populasi
1 Jakarta, DKI Jakarta 8.839.247
2 Surabaya, Jawa Timur 2.611.506
3 Bandung, Jawa Barat 2.280.570
4 Bekasi, Jawa Barat 1.993.478
5 Tangerang, Banten 1.451.595
6 Semarang, Jawa Tengah 1.438.733
7 Depok, Jawa Barat 1.374.903
8 Bogor, Jawa Barat 891.467
9 Malang, Jawa Timur 790.356
10 Surakarta, Jawa Tengah 506.397

Demografi

Penduduk pulau Jawa
Dengan populasi sebesar 136 juta jiwa[22] Jawa adalah pulau yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57% populasi Indonesia.[22] Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km²,[22] pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa.[23] Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.400 jiwa/km2.[22]
Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun terkadang menghasilkan konflik antara transmigran pendatang dari Jawa dengan populasi penduduk setempat. Di Jawa Timur banyak pula terdapat penduduk dari etnis Madura dan Bali, karena kedekatan lokasi dan hubungan bersejarah antara Jawa dan pulau-pulau tersebut. Jakarta dan wilayah sekelilingnya sebagai daerah metropolitan yang dominan serta ibukota negara, telah menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku bangsa di Indonesia.

Etnis dan budaya

Seorang pemuda berpakaian tradisional Jawa dengan kelengkapan: blangkon, kain batik, dan keris (1913).
Mitos asal-usul pulau Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah kakawin, bernama Tangtu Panggelaran. Komposisi etnis di pulau Jawa secara relatif dapat dianggap homogen, meskipun memiliki populasi yang besar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis utama asli pulau ini, yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda. Etnis Madura dapat pula dianggap sebagai kelompok ketiga; mereka berasal dari pulau Madura yang berada di utara pantai timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran ke Jawa Timur sejak abad ke-18.[24] Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau ini, sedangkan orang Sunda mencapai 20% dan orang Madura mencapai 10%.[24]
Empat wilayah budaya utama terdapat di pulau ini: sentral budaya Jawa (kejawen) di bagian tengah, budaya pesisir Jawa (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (pasundan) di bagian barat, dan budaya Osing (blambangan) di bagian timur. Budaya Madura terkadang dianggap sebagai yang kelima, mengingat hubungan eratnya dengan budaya pesisir Jawa.[24] Kejawen dianggap sebagai budaya Jawa yang paling dominan. Aristokrasi Jawa yang tersisa berlokasi di wilayah ini, yang juga merupakan wilayah asal dari sebagian besar tentara, pebisnis, dan elit politik di Indonesia. Bahasa, seni, dan tata krama yang berlaku di wilayah ini dianggap yang paling halus dan merupakan panutan masyarakat Jawa.[24] Tanah pertanian tersubur dan terpadat penduduknya di Indonesia membentang sejak dari Banyumas di sebelah barat hingga ke Blitar di sebelah timur.[24]
Jawa merupakan tempat berdirinya banyak kerajaan yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara,[25] dan karenanya terdapat berbagai karya sastra dari para pengarang Jawa. Salah satunya ialah kisah Ken Arok dan Ken Dedes, yang merupakan kisah anak yatim yang berhasil menjadi raja dan menikahi ratu dari kerajaan Jawa kuno; dan selain itu juga terdapat berbagai terjemahan dari Ramayana dan Mahabharata. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis kontemporer ternama Indonesia, yang banyak menulis berdasarkan pengalaman pribadinya ketika tumbuh dewasa di Jawa, dan ia banyak mengambil unsur-unsur cerita rakyat dan legenda sejarah Jawa ke dalam karangannya.

Bahasa

Bahasa-bahasa yang dipertuturkan di Jawa (bahasa Jawa warna putih).
Tiga bahasa utama yang dipertuturkan di Jawa adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura. Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi bahasa Betawi (suatu dialek lokal bahasa Melayu di wilayah Jakarta), bahasa Osing dan bahasa Tengger (erat hubungannya dengan bahasa Jawa), bahasa Baduy (erat hubungannya dengan bahasa Sunda), bahasa Kangean (erat hubungannya dengan bahasa Madura), bahasa Bali, dan bahasa Banyumasan.[26] Sebagian besar besar penduduk mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan bahasa kedua mereka.

Agama dan kepercayaan

Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Pengaruh budaya India adalah yang datang pertama kali dengan agama Hindu-Siwa dan Buddha, yang menembus secara mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa.[27] Para brahmana kerajaan dan pujangga istana mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta mengaitkan kosmologi Hindu dengan susunan politik mereka.[27] Meskipun kemudian agama Islam menjadi agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat pulau Bali, terutama di sekitar kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddha umumnya saat ini terdapat di kota-kota besar, terutama dari kalangan Tionghoa-Indonesia.
Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan dalam bahasa Jawa Kuna dan bukan bahasa Arab ditemukan dengan penanggalan tahun sejak 1369 di Jawa Timur. Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan mungkin para bangsawan.[28] M.C. Ricklefs berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang berpaham sufi-mistis, yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama akrab dengan aspek mistis agama Hindu dan Buddha.[29] Sebuah batu nisan seorang Muslim bernama Maulana Malik Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah) ditemukan di Gresik, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa Timur. Tradisi Jawa menyebutnya sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu dari sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak ada bukti tertulis yang mendukung tradisi lisan ini.
Masjid di Pati, Jawa Tengah, pada masa kolonial. Masjid ini menggabungkan gaya tradisional Jawa (atap bertingkat) dengan arsitektur Eropa.
Saat ini lebih dari 90 persen orang Jawa menganut agama Islam, dengan sebaran nuansa keyakinan antara abangan (lebih sinkretis) dan santri (lebih ortodoks). Dalam sebuah pondok pesantren di Jawa, para kyai sebagai pemimpin agama melanjutkan peranan para resi di masa Hindu. Para santri dan masyarakat di sekitar pondok umumnya turut membantu menyediakan kebutuhan-kebutuhannya.[27] Tradisi pra-Islam di Jawa juga telah membuat pemahaman Islam sebagian orang cenderung ke arah mistis. Terdapat masyarakat Jawa yang berkelompok dengan tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh keagamaan, yang menggabungkan pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam dengan ajaran Islam.[27]
Agama Katolik Roma tiba di Indonesia pada saat kedatangan Portugis dengan perdagangan rempah-rempah.[30] Agama Katolik mulai menyebar di Jawa Tengah ketika Frans van Lith, seorang imam dari Belanda, datang ke Muntilan, Jawa Tengah pada tahun 1896. Kristen Protestan tiba di Indonesia saat dimulainya kolonialisasi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada abad ke-16. Kebijakan VOC yang melarang penyebaran agama Katolik secara signifikan meningkatkan persentase jumlah penganut Protestan di Indonesia.[31] Komunitas Kristen terutama terdapat di kota-kota besar, meskipun di beberapa daerah di Jawa tengah bagian selatan terdapat pedesaan yang penduduknya memeluk Katolik. Terdapat kasus-kasus intoleransi bernuansa agama yang menimpa umat Katolik dan kelompok Kristen lainnya.[32]
Tahun 1956, Kantor Departemen Agama di Yogyakarta melaporkan bahwa terdapat 63 sekte aliran kepercayaan di Jawa yang tidak termasuk dalam agama-agama resmi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 35 berada di Jawa Tengah, 22 di Jawa Barat dan 6 di Jawa Timur.[27] Berbagai aliran kepercayaan (juga disebut kejawen atau kebatinan) tersebut, di antaranya yang terkenal adalah Subud, memiliki jumlah anggota yang sulit diperkirakan karena banyak pengikutnya mengidentifikasi diri dengan salah satu agama resmi pula.[33]

Ekonomi

Wanita Jawa menanam padi di persawahan dekat Prambanan, Yogyakarta.
Awalnya, perekonomian Jawa sangat tergantung pada persawahan. Kerajaan-kerajaan kuno di Jawa, seperti Tarumanagara, Mataram, dan Majapahit, sangat bergantung pada panen padi dan pajaknya. Jawa terkenal sebagai pengekspor beras sejak zaman dahulu, yang berkontribusi terhadap pertumbuhan penduduk pulau ini. Perdagangan dengan negara Asia lainnya seperti India dan Cina sudah terjadi pada awal abad ke-4, terbukti dengan ditemukannya keramik Cina dari periode tersebut. Jawa juga terlibat dalam perdagangan rempah-rempah Maluku semenjak era Majapahit hingga era Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Perusahaan dagang tersebut mendirikan pusat administrasinya di Batavia pada abad ke-17, yang kemudian terus dikembangkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sejak abad ke-18. Selama masa penjajahan, Belanda memperkenalkan budidaya berbagai tanaman komersial, seperti tebu, kopi, karet, teh, kina, dan lain-lain. Kopi Jawa bahkan mendapatkan popularitas global di awal ke-19 dan abad ke-20, sehingga nama Java telah menjadi sinonim untuk kopi.
Jawa telah menjadi pulau paling berkembang di Indonesia sejak era Hindia-Belanda hingga saat ini. Jaringan transportasi jalan yang telah ada sejak zaman kuno dipertautkan dan disempurnakan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos Jawa oleh Daendels di awal abad ke-19. Kebutuhan transportasi produk-produk komersial dari perkebunan di pedalaman menuju pelabuhan di pantai, telah memacu pembangunan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini, industri, bisnis dan perdagangan, juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung, sedangkan kota-kota kesultanan tradisional seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon menjaga warisan budaya keraton dan menjadi pusat seni, budaya dan pariwisata. Kawasan industri juga berkembang di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa, terutama di sekitar Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Gresik, dan Sidoarjo.
Jaringan jalan tol dibangun dan diperluas sejak masa pemerintahan Soeharto hingga sekarang, yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah sekitarnya, di berbagai kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Selain jalan tol tersebut, di pulau ini juga terdapat 16 jalan raya nasional.

Sumber :  http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa

Sabtu, 14 September 2013

Kalimantan

Kalimantan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kalimantan, Indonesia
Kalimantan
Ibu kota Banjarmasin, Samarinda, Pontianak, Palangkaraya
Bahasa resmi Bahasa Indonesia
Pemerintahan Republik Indonesia
Luas
 -  Total 748.168,1 km2 
Penduduk
 -  Perkiraan 1980 9,220,447 
Kalimantan adalah sebuah wilayah di pulau Borneo yang dimiliki oleh Indonesia, wilayah Kalimantan terletak di selatan pulau Borneo. Ia berbatasan dengan Sabah dan Sarawak di bagian utara, sedangkan di bagian timur berbatasan dengan Selat Karimata, di bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan di sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar, dan Laut Sulawesi.

Latar belakang

Pada zaman Hindia-Belanda dan sebelumnya, Kalimantan merujuk kepada keseluruhan pulau Borneo yang meliputi Sabah, Sarawak, Brunei, dan kawasan Kalimantan sekarang. Dalam surat-surat Pangeran Tamjidillah dari Kerajaan Banjar kepada Residen Belanda di Banjarmasin pada tahun 1857, beliau menyebut nama "Pulau Kalimantan", bukan dengan sebutan "Pulau Borneo". Ini menunjukkan bahawa di kalangan penduduk, nama "Kalimantan" lebih umum digunakan daripada nama "Borneo" yang digunakan pada masa penjajahan Hindia Belanda.
Sebagian besar wilayah Kalimantan dari kota Sambas sehingga kota Berau merupakan bekas kawasan Kerajaan Banjar, tetapi kini kawasan itu menyusut menjadi sebagian kecil saja di wilayah Kalimantan Selatan masa kini setelah jatuh ke tangan kesultanan Brunei. Dengan kedatangan Inggris di Kalimantan, Inggris memisahkan Sabah, Sarawak dari Kalimantan (termasuk Brunei). Ketika Sabah dan Sarawak dimasukkan ke dalam wilayah Malaysia, keseluruhan pulau dipanggil Borneo. Sampai sekarang pulau itu secara luas disebut dengan "Borneo" daripada "Kalimantan", dan kata "Kalimantan" sendiri lebih umum diartikan sebagai suatu wilayah di pulau Borneo yang dimiliki oleh Indonesia, walaupun dalam Bahasa Indonesia kata "Kalimantan" tetap mengacu kepada keseluruhan pulau.

Etimologi

Asal-usul nama Kalimantan tidak begitu jelas. Sebutan kelamantan digunakan di Sarawak untuk menyebut kelompok penduduk yang mengonsumsi sagu di wilayah utara pulau ini[1]. Menurut Crowfurd, kata Kalimantan adalah nama sejenis mangga (Mangifera) sehingga pulau Kalimantan adalah pulau mangga, namun dia menambahkan bahwa kata itu berbau dongeng dan tidak populer.[2]. Mangga lokal yang disebut klemantan ini sampai sekarang banyak terdapat di perdesaan di daerah Ketapang dan sekitarnya, Kalimantan Barat.
Menurut C. Hose dan Mac Dougall, "Kalimantan" berasal dari nama-nama enam golongan suku-suku setempat yakni Iban (Dayak Laut), Kayan, Kenyah, Klemantan (Dayak Darat), Murut, dan Punan. Dalam karangannya, Natural Man, a Record from Borneo (1926), Hose menjelaskan bahwa Klemantan adalah nama baru yang digunakan oleh bangsa Melayu. Namun menurut Slamet Muljana, kata Kalimantan bukan kata Melayu asli tapi kata pinjaman sebagai halnya kata Malaya, melayu yang berasal dari India (malaya yang berarti gunung).
Pendapat yang lain menyebutkan bahwa Kalimantan atau Klemantan berasal dari bahasa Sanskerta, Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal[a]: musim, waktu dan manthan[a]: membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan.[3] Terdapat tiga kerajaan besar (induk) di pulau ini yaitu Borneo (Brunei/Barune), Succadana (Tanjungpura/Bakulapura), dan Banjarmasinn (Nusa Kencana). Penduduk kawasan timur pulau ini menyebutnya Pulu K'lemantan[4][5][6], orang Italia mengenalnya Calemantan dan orang Ukraina : Калімантан.
Jika ditilik dari bahasa Jawa, nama Kalimantan dapat berarti "Sungai Intan".[7][8][9]

Sebuah sungai di Kalsel dan transportasi airnya
Sepanjang sejarahnya, Kalimantan juga dikenal dengan nama-nama yang lain. Kerajaan Singasari, misalnya, menyebutnya "Bakulapura" yaitu jajahannya yang berada di barat daya Kalimantan. Bakula dalam bahasa Sanskerta artinya pohon tanjung (Mimusops elengi) sehingga Bakulapura mendapat nama Melayu menjadi "Tanjungpura" artinya negeri/pulau pohon tanjung yaitu nama kerajaan Tanjungpura yang sering dipakai sebagai nama pulaunya. Sementara Kerajaan Majapahit di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutnya "Tanjungnagara" yang juga mencakup pula Filipina seperti Saludung (Manila) dan Kepulauan Sulu.
Hikayat Banjar, sebuah kronik kuno dari Kalimantan Selatan yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, tetapi naskah Hikayat Banjar ini sendiri berasal dari naskah dengan teks bahasa Melayu yang lebih kuno pada masa kerajaan Hindu, di dalamnya menyebut Pulau Kalimantan dengan nama Melayu yaitu pulau "Hujung Tanah". Sebutan Hujung Tanah ini muncul berdasarkan bentuk geomorfologi wilayah Kalimantan Selatan pada zaman dahulu kala yang berbentuk sebuah semenanjung yang terbentuk dari deretan Pegunungan Meratus dengan daratan yang berujung di Tanjung Selatan yang menjorok ke Laut Jawa. Keadaan ini identik dengan bentuk bagian ujung dari Semenanjung Malaka yaitu Negeri Johor yang sering disebut "Ujung Tanah" dalam naskah-naskah Kuno Melayu. Semenanjung Hujung Tanah inilah yang bersetentangan dengan wilayah Majapahit di Jawa Timur sehingga kemudian mendapat nama Tanjungnagara artinya pulau yang berbentuk tanjung/semenanjung.
Sebutan "Nusa Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam naskah-naskah Jawa Kuno seperti dalam Ramalan Prabu Jayabaya dari masa kerajaan Kadiri (Panjalu), tentang akan dikuasainya Tanah Jawa oleh bangsa Jepang yang datang dari arah Nusa Kencana (Bumi Kencana). Memang terbukti sebelum menyeberang ke Jawa, tentara Jepang terlebih dahulu menguasai ibukota Kalimantan saat itu yaitu Banjarmasin. Nusa Kencana sering pula digambarkan sebagai Tanah Sabrang yaitu sebagai perwujudan Negeri Alengka yang primitif tempat tinggal para raksasa di seberang Tanah Jawa. Di Tanah Sabrang inilah terdapat Tanah Dayak yang disebutkan dalam Serat Maha Parwa.
Sebutan-sebutan yang lain antara lain: "Pulau Banjar"[10][11], Raden Paku (kelak dikenal sebagai Sunan Giri) diriwayatkan pernah menyebarkan Islam ke Pulau Banjar, demikian pula sebutan oleh orang Gowa, Selaparang (Lombok), Sumbawa dan Bima karena kerajaan-kerajaan ini memiliki hubungan bilateral dengan Kesultanan Banjar; "Jawa Besar" sebutan dari Marco Polo penjelajah dari Italia[12] atau dalam bahasa Arab[13]; dan "Jaba Daje" artinya "Jawa di Utara (dari pulau Madura) sebutan suku Madura terhadap pulau Kalimantan baru pada abad ke-20.

Pembagian wilayah

Kalimantan dibagikan menjadi 5 buah wilayah atau provinsi:

Penduduk

Provinsi di Kalimantan
Provinsi Luas (km2) Total populasi (Sensus tahun 2000) Total populasi (Perkiraan tahun 2005) Total populasi (Sensus tahun 2010) Provincial capital
Kalimantan Barat
(Kalimantan Barat)
147.307,00 4.016.353 4.042.817 4.393.239 Pontianak
Kalimantan Tengah
(Kalimantan Tengah)
153.564,50 1.801.965 1.913.026 2.202.599 Palangkaraya
Kalimantan Selatan
(Kalimantan Selatan)
38.744,23 2.984.026 3.271.413 3.626.119 Banjarmasin
Kalimantan Timur
(Kalimantan Timur)
204.534,34 2.451.895 2.840.874 3.550.586 Samarinda
Kalimantan Utara
(Kalimantan Utara)
71.176,72 473.424 524.526 Tanjung Selor
Total 615.326,79 11.254.239 12.541.554 14.297.069

Budaya


Mengulur naga dalam pesta adat Erau, upacara adat suku Kutai.

Karakter naga dalam budaya Banjar.
Ada 5 budaya dasar masyarakat asli rumpun Austronesia di Kalimantan atau Etnis Orang Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai dan Paser.[14] Sedangkan sensus BPS tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar).[15] Suku Melayu menempati wilayah pulau Karimata dan pesisir Kalimantan Barat, Sarawak, Brunei sehingga pesisir Sabah. Suku Banjar menempati pesisir Kalteng, Kalsel hingga Kaltim. Suku Kutai dan Paser menempati wilayah Kaltim. Sedangkan suku Dayak menempati seluruh daerah pedalaman Kalimantan. Keberadaan orang Tionghoa yang banyak di kota Singkawang dapat disamakan komunitas Cina Benteng yang bermukim di Kota Tangerang dekat Jakarta. Memang beberapa kota di pulau Kalimantan diduduki secara politis oleh mayoritas suku-suku imigran seperti suku Hakka (Singkawang), suku Jawa (Balikpapan, Samarinda), Bugis (Balikpapan, Samarinda, Pagatan, Nunukan, Tawau) dan sebagainya. Suku-suku imigran tersebut berusaha memasukkan unsur budayanya dengan alasan tertentu, padahal mereka tidak memiliki wilayaa adat dan tidak diakui sebagai suku asli Kalimantan, walaupun keberadaannya telah lama datang menyeberang ke pulau ini. Suku Bugis merupakan suku transmigran pertama menetap, ber-inkorporasi dan memiliki hubungan historis dengan kerajaan-kerajaan Melayu (baca: kerajaan Islam) di Kalimantan. Beberapa waktu yang lalu suku Bugis, mengangkat seorang panglima adat untuk pulau Nunukan yang menimbulkan reaksi oleh lembaga adat suku-suku asli. Tari Rindang Kemantis adalah gabungan tarian yang mengambil unsur seni beberapa etnis di Balikpapan seperti Banjar, Dayak, Bugis, Jawa, Padang dan Sunda[16] dianggap kurang mencerminkan budaya lokal sehingga menimbulkan protes lembaga adat suku-suku lokal.[17][18] Di Balikpapan pembentukan Brigade Lagaligo[19] sebuah organisasi kemasyarakatan warga perantuan asal Sulawesi Selatan dianggap provokasi dan ditentang ormas suku lokal.[20][21][22][23][24][25] Kota Sampit pernah dianggap sebagai Sampang ke-2. Walikota Singkawang yang berasal dari suku Tionghoa membangun di pusat kota Singkawang sebuah patung liong yaitu naga khas budaya Tionghoa yang lazim ditaruh atau disembahyangi di kelenteng. Pembangunan patung naga ini merupakan simbolisasi hegemoni politik ECI Etnis Cina Indonesia dengan mengabaikan keberadaan etnis pribumi di Singkawang sehingga menimbulkan protes oleh kelompok Front Pembela Islam, Front Pembela Melayu dan aliansi LSM. Penguatan dominasi politik ECI merupakan upaya revitalisasi negara Lan Fang[26] yang tentu saja akan ditolak oleh suku-suku bukan ECI[27], namun di lain pihak, suku Dayak mendukung keberadaan patung naga tersebut.[28]. Dalam budaya Kalimantan karakter naga biasanya disandingkan dengan karakter enggang gading, yang melambangkan keharmonisan dwitunggal semesta yaitu dunia atas dan dunia bawah. Seorang tokoh suku imigran telah membuat tulisan yang menyinggung etnis Melayu.[29] Walaupun demikian sebagian budaya suku-suku Kalimantan merupakan hasil adaptasi, akulturasi, asimilasi, amalgamasi, dan inkorporasi unsur-unsur budaya dari luar misalnya sarung Samarinda, sarung Pagatan, wayang kulit Banjar, benang bintik (batik Dayak Ngaju), ampik (batik Dayak Kenyah), tari zafin dan sebagainya.
Pada dasarnya budaya Kalimantan terbagi menjadi budaya pedalaman dan budaya pesisir. Atraksi kedua budaya ini setiap tahun ditampilkan dalam Festival Borneo yang ikuti oleh keempat provinsi di Kalimantan diadakan bergiliran masing-masing provinsi.[30][31][32] Kalimantan kaya dengan budaya kuliner, diantaranya masakan sari laut.[33]

Kelompok etnis

Nama Kalimantan yang lain

  • Waruna Pura
  • Tanjungpura (Bakulapura)
  • Tanjung Negara adalah sebutan untuk pulau Borneo oleh Kerajaan Majapahit. Kalimantan merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit yang kelapan.
  • Hujung Tanah atau Ujung Tanah adalah sebutan pulau Kalimantan dalam Hikayat Banjar dan Hikayat Raja-raja Pasai. Nampaknya, ini adalah nama yang digunakan oleh penduduk Sumatera dan sekitarnya untuk menyebut pulau Kalimantan.
  • Pulau Kencana adalah sebutan untuk pulau Kalimantan dalam Ramalan Prabu Jayabaya dari Majapahit tentang prospek penguasaan Tanah Jawa oleh bangsa Jepun yang datang dari arah pulau Kencana (Kalimantan).

Kalimantan dalam nama

 Sumber :  http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan